Tuesday, October 31, 2006

Akrab Dengan Al Quran

Al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan oleh Allah swt. Isinya
merupakan penyempurna dan pengoreksi semua isi kitab suci terdahulu. Dengan
diturunkannya ayat terakhir dari Al-Qur’an, berarti terhentilah wahyu dari
langit dan berakhirlah pengutusan para rusul ke dunia. Nabi Muhammad saw.
sebagai penerima wahyu terakhir tersebut adalah pemungkas para Rasul (QS.
Al-Ahzab: 40)

Al-Qur’an merupakan undang-undang langit terakhir yang berfungsi mengubah
undang-undang samawi sebelumnya. Apa yang masih dianggap relevan dengan
tuntutan zaman masih tersirat dan atau tersurat di dalamnya, karena Al-
Qur’an adalah puncak dari perundang-undangan Ilahi dan pemungkas wahyu
samawi. Isi kitab samawi sebelumnya yang telah diubah oleh tangan-tangan
kotor manusia, dikoreksi dan diluruskan. Undang-udang pokok yang dibutuhkan
umat manusia sampai akhir zaman untuk mengatur kehidupannya telah lengkap
tercantum dalam Al-Qur’an.(Al Maidah 3)

Al-Qur’an diturunkan berfungsi membenarkan dan meluruskan apa yang ada pada
kitab suci sebelumnya serta menyempurnakan risalah para Nabi terdahulu,
untuk dijadikan sebagai risalah universal yang mencakup semua kebutuhan
manusia, kapan dan dimana saja mereka berada. (QS. Al-Ma’idah: 48)

1. Kesempurnaan dan Kelengkapan Isi Al-Qur’an

Dalam surat Al-Ma’idah ayat 3 Allah menyatakan,

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu dan telah Aku lengkapkan
nikmatKu kepadamu dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu.”

Ayat ini menyuratkan dua hal pokok. Pertama, Allah telah menyempurnakan isi
Al-Qur’an. Dalam artian dari aspek kualitas, ajaran Al-Qur’an amat sempurna
dan tidak terdapat kontradiksi sama sekali. Kedua, Allah telah mencukupkan
atau melengkapkan nikmat-Nya kepada Muhammad saw. Diantara nikmat yang
paling agung adalah nikmat Islam. Berarti Allah telah melengkapkan ajaran
Islam.

Kelengkapan ajaran Al-Qur’an ini ditinjau dari segi kuantitas ajarannya.
Menuntut ayat tersebut, ajaran Al-Qur’an telah mencakup semua aspek hukum
dan aspek kehidupan manusia. Sebagaimana yang ditegaskan Allah, “Tidak satu
pun yang Kami abaikan dalam Al-Qur’an ini” (QS. Al-An’am: 38).

Para ahli tafsir mengatakan maksud ayat ini, bahwa Allah tidak meninggalkan
sedikit pun masalah-masalah agama dalam Al Quran. Allah telah menjelaskan
semuanya, baik dengan terperinci maupun secara global yang diterangkan oleh
Rasulullah saw. atau ijma’ dan qiyas. (Al Jami’ Li ahkaamil Quran, Al
Qurthubi, juz VI hal 420)

Dalam ayat lain ditegaskan, ”Dan telah Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an
untuk menerangkan segala sesuatu”. (Al Jami’ Li ahkaamil Quran,Al Qurthubi,
juz X hal 164)

Menurut ayat-ayat tersebut, segala sesuatu sudah ada dan diatur oleh Allah
swt. dalam Al-Qur’an. Bagi orang yang mengikuti peraturan-peraturan yang
sudah ada dalam Al-Qur’an, akan sempurna merasakan nikmat Allah dalam
penghidupan dan kehidupan di atas dunia ini.

Kalau kita bawa maksud Al-Qur’an ini kepada suatu konotasi yang lebih
sempit, yaitu pedoman hidup dan hukum, maka Al-Qur’an merupakan pedoman
hidup dan aturan hukum yang sempurna dan lengkap. Tidak ada lagi aturan atau
hukum pokok yang dibutuhkan manusia yang tertinggal. Apabila manusia
berpedoman pada Al-Qur’an, mengikuti dan menjalankan peraturan-peraturan
hukum yang ada di dalamnya, maka akan sempurnalah nikmat kehidupan umat
manusi di dunia ini. (Al Jami’ Li Ahkaamil Quran, Al Qurthubi, juz VI hal
420)

2. Manusia Membutuhkan Petunjuk Al-Qur’an

Totalitas dan kesempurnaan ajaran yang dimiliki Al-Qur’an menuntut
peganutnya agar komitmen terhadap Islam secara total. Seorang muslim tidak
boleh mengambil satu aspek saja dari ajarannya, akan tetapi ia harus
mengambil semua aspek dari ajaran-ajaran Islam secara utuh. Al-Qur’an
mencela Bani Israil yang menerima sebagian ayat dan menolak sebagian yang
lainnya sesuai dengan kemauan dan hawa nafsu mereka. (QS. Al-Baqarah: 85).

Untuk menghadapi era globalisasi sekarang ini, manusia amat membutuhkan
petunjuk Al-Qur’an, karena kebutuhannya melebihi kebutuhan umat manusia
terdahulu. Ada beberapa alasan yang menyebabkan kita amat membutuhkan
petunjuk Al-Qur’an.

Al-Qur'an diturunkan kepada Rasulullah saw. untuk membebaskan ummat manusia
dari kegelapan menuju cahaya hidup yang terang benderang (QS. Ibrahim: 1).
Dan sebagai pedoman hidup penuntun ummat manusia ke jalan kehidupan yang
lurus (QS. Al-Baqarah: 183 dan QS. Al-Isra’: 9). Mengikuti petunjuk
Al-Qur'an adalah jaminan kebahagiaan pribadi dan masyarakat, kebahagiaan
dunia dan akhirat, karena pembuat petunjuk itu adalah Pencipta dan Yang Maha
Tahu tentang ciptan-Nya.

Pedoman dan petunujuk hidup itu berlaku bagi seluruh ummat manusia, baik
bagi orang Arab manupun orang non Arab, baik orang pandai ataupun orang
biasa, baik kelas atas, menengah, atau pun kelas bawah. Oleh karena itu,
Allah swt. Yang Maha bijaksana menurunkan Al-Qur’an ini dengan uslub yang
mudah, yang dapat difahami oleh ummat manusia. Bahkan, Al-Qur’an sendiri
mengulang-ulang pernyataan ini empat kali dalam satu surat Al-Qamar: 17, 22,
32 dan 40 sebagai berikut:

"Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur'an untuk pelajaran, maka adakah
orang yang mengambil pelajaran?" (QS. Al-Qamar : 17, 22, 32 dan 40)

Para sahabat Nabi dengan berbagai macam jenis kemampuan penalaran mereka,
dengan mudah memahami, mencerna, dan mengamalkan Aquran, karena mereka siap
mendengar, menerima, dan mentaatinya. Namun, Rasulullah saw. pernah mengadu
kepada Allah swt. tentang sikap kaumnya terhadap Al-Qur'an ini, sebagaimana
direkam oleh Al-Qur'an sendiri:

"Dan Rasul berkata (mengadu): Wahai Rabbku, sesungguhnya kaumku menjadikan
Al-Qur'an ini sesuatu yang tidak diacuhkan" (QS. Al-Furqaan: 30).

Ibnu Katsir mengatakan bahwa tidak beriman dan tidak membenarkan Al-Qur’an
termasuk "mahjura". Tidak mentadabburi (menelaah) dan tidak memahaminya
adalah termasuk "mahjura". Tidak mengamalkannya dan tidak melaksanakan
perintah dan menjauhi larangannya adalah termasuk "mahjuro".

Pengaduan itu terhadap kaumnya yang memusuhi Aquran (orang-orang kafir),
bagaimana kalau terjadi pada ummatnya sendiri!!!

3. Berinteraksi dengan Al-Quran dan Mentadabburinya

Ada empat macam cara interaksi dengan Al-Qur'an :
1. Tilawah (membacanya) .
2. Tadabbur (menelaahnya) .
3. Hifzh (menghafalnya) .
4. Al-amal bihi (mengamalkannya) .

Tadabbur (penelaahan) Al-Qur’an diperintahkan oleh Allah swt. dan salah satu
cara berinteraksi (ta'amul) dengan Al-Qur'an. Allah swt. berfirman, “Ini
adalah sebuah Kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya
mereka mentadabburi ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang mempunyai
fikiran mendapatkan pelajaran" (QS. Shaad: 29). "Maka apakah mereka tidak
mentadabburi Al-Qur'an ataukah hati mereka terkuci?" (QS. Muhammad: 24 ).

Tadabbur adalah salah satu cara untuk memahami Al-Qur’an. Kitab-kitab Tafsir
yang kita kenal dan kita baca sekarang adalah hasil usaha yang optimal dari
para ulama dalam mentadabburi dan memahami Aquran.

Tadabbur menurut bahasa berasal dari kata ÏÈÜÜÑ yang berarti menghadap,
kebalikan membelakangi. Tadabbur menurut ahli bahasa Arab adalah ÇáÜÊÜÝÜßøÜÑ
memikirkan. Maka, tadabbur bisa berarti memikirkan akibat dari sesuatu atau
memikirkan maksud akhir dari sesuatu. Sedangkan, tadabbur menurut istilah
adalah "penelaahan universal yang bisa mengantarkan kepada pemahaman optimal
dari maksud suatu perkataan ".

Namun, tadabbur itu sendiri terikat dengan mengamalkannya, karena para
Salafushshalih mengartikan tadabbur dan tilawah yang sungguh-sungguh (QS.
Al-Baqarah: 121) dengan mengamalkannya. Jadi, pengertian tadabbur adalah,
"Usaha memahami ayat-ayat Al-Qur'an yang sedang dibaca atau didengar dengan
disertai kekhusyukan hati dan anggota badan serta dibuktikan dengan
mengamalkannya" .

Untuk berinteraksi dengan Al-Qur'an dan melakukan tadabur yang optimal
membutuhkan kiat-kiat sebagai berikut:

1. Memperhatikan Adab atau Sopan-santun dalam Tilawah.

Supaya tilawah Al-Qur'an memberikan manfaat dan buah serta menghasilkan
dampak positif dan istiqamah, perlu diperhatikan adab dan sopan santun
ketika membaca Al-Qur'an antara lain:

a. ÍÓÜä ÇáäíÜÉ (motivasi yang baik), keihklasan, totalitas hanya untuk
mendapatkan ridha Allah swt.
b. ÇáÇÓÊÚÇÐÉ æÇáÈÓÜãáÉ (dimulai dengan Isti"adzah dan Basmalah) karena
hal tersebut diperintahkan oleh Allah (QS. An-Nahl: 98 ).
c. ÇáØåÜÇÑÉ (kesucian) hati dan jasad, suci lahir dan batin. Bahkan
dianjurkan membaca Al-qur'an itu dalam keadaan suci dari hadats besar dan
kecil.
d. ÊÜÝÜÑíÛ ÇáäÝÜÓ Úä ÔÜæÇÛáÜåÇ (tidak disibukan dengan selain
Al-Qur'an).
e. ÍÕÜÑ ÇáÝÜßÜÑ ãÚ ÇáÞÜÑÁÇä (konsentrasi penuh dengan Al-Qur'an)
f. ÇÎÊÜíÇÑ ÇáÃæÞÜÇÊ æÇáÃãÜÇßä ÇáãÜäÜÇÓÈÜÉ (memilih waktu dan tempat
yang cocok).

2. Memperhatikan cara-cara Talaqqi ( menerima pelajaran ).

a. ÇáÊÜáÞí ÈÇáÞáÈ ÇáÎÇÔÜÚ (menerimanya dengan hati yang khusyuk).
b. ÇáÊÜáÞí ÈÇáÜÊÜÚÙíÜã (menerimanya dengan rasa takzim) seperti halnya
seorang prajurit mendapatkan perintah dari komandannya atau seorang hamba
sahaya mendapat perintah dari majikannya.
c. ÇáÊÜáÜÞí ááÊÜäÜÝíÜÐ (menerimanya untuk dilaksanakan) .

3. Memperhatikan Tujuan Pokok dari Al-Qur’an.

Ketika mentadabburi Al-Qur'an, hendaknya terhujam dalam benak kita tujuan
pokok dan essensi diturunkannya Al-qur'an, yang antara lain:
a. Petunjuk jalan menuju kepada Allah swt. bagi setiap individu ataupun
bagi seluruh ummat manusia.
b. Merealisasikan pembentukan pribadi muslim yang sempurna dan yang
seimbang.
c. Merealisasikan masyarakat Islam berwawasan Al-Qur’an.
d. Membimbing ummat dalam pergumulannya dengan situasi jahili yang
berada disekelilingnya.

4. Mengikuti Jejak Langkah Para Sahabat dalam Berinteraksi dengan
Al-Qur’an.

a. Pandangan yang universal terhadap Al-Qur’an.
b. Melepaskan segala bentuk prasangka sebelum masuk berinteraksi dengan
Al-Qur'an.
c. Penuh keyakinan akan benarnya nash-nash Aquran.
d. Merasakan bahwa ayat yang dibaca atau didengar adalah ditujukan
kepadanya.

5. Berusaha Hidup dalam Ruh Al-Qur'an.

a. Tidak bertele-tele dalam memahaminya.
b. Menjauhkan cerita-cerita Israiliyyat.
c. Melepaskan nash-nash Al-Qur’an dari keterikatan dengan tempat dan
waktu.

6. Dibantu dengan disiplin Ilmu-ilmu lain.

a. Menguasai pokok-pokok ulumul Qur’an.
b. Memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan modern.
c. Melepaskan perbeadaan-perbedaa n penafsiran para ulama tafsir dan
kembali kepada makna hakiki dari Al-Qur’an.
d. Diperluas dengan penguasaan Sirah Nabawiyah dan Sejarah kehidupan
para Sahabat.

Sumber:
30 Tadabbur Ramadhan, MENJADI HAMBA ROBBANI, Meraih Keberkahan Bulan Suci

Penulis:
Dr. Achmad Satori Ismail, Dr. M. Idris Abdul Shomad, MA
Samson Rahman, Tajuddin, MA, H. Harjani Hefni, MA
A. Kusyairi Suhail, MA, Drs. Ahlul Irfan, MM, Dr. Jamal Muhammad, Sp.THT

Source: IKADI

Sunday, October 29, 2006

Puasa Syawal

Keutamaan Puasa Enam Hari Di Bulan Syawal

Abu Ayyub Al-Anshari radhiallahu 'anhu meriwayatkan, Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
"Barangsiapa berpuasa penuh di bulan Ramadhan lalu menyambungnya
dengan(puasa) enam hari di bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti ia
berpuasa selama satu tahun ."
(HR. Muslim).

Imam Ahmad dan An-Nasa'i, meriwayatkan dari Tsauban, Nabi
shallallahu 'alaihi wasalllam bersabda:
"Puasa Ramadhan (ganjarannya) sebanding dengan (puasa) sepuluh
bulan, sedangkan puasa enam hari (di bulan Syawal, pahalanya)
sebanding dengan(puasa) dua bulan, maka itulah bagaikan berpuasa
selama setahun penuh."
( Hadits riwayat Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam "Shahih" mereka.)

Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda:
"Barangsiapa berpuasa Ramadham lantas disambung dengan enam hari di
bulan Syawal, maka ia bagaikan telah berpuasa selama setahun. "
(HR. Al-Bazzar) (Al Mundziri berkata: "Salah satu sanad yang befiau
miliki adalah shahih.")

Pahala puasa Ramadhan yang dilanjutkan dengan puasa enam hari di
bulan Syawal menyamai pahala puasa satu tahun penuh, karena setiap
hasanah(kebaikan) diganjar sepuluh kali lipatnya, sebagaimana telah
disinggung dalam hadits Tsauban di muka.

Membiasakan puasa setelah Ramadhan memiliki banyak manfaat, di
antaranya :

1. Puasa enam hari di buian Syawal setelah Ramadhan, merupakan
pelengkap dan penyempurna pahala dari puasa setahun penuh.

2. Puasa Syawal dan Sya'ban bagaikan shalat sunnah rawatib,
berfungsi sebagai penyempurna dari kekurangan, karena pada hari
Kiamat nanti perbuatan-perbuatan fardhu akan disempurnakan
(dilengkapi) dengan perbuatan-perbuatan sunnah. Sebagaimana
keterangan yang datang dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di
berbagai riwayat. Mayoritas puasa fardhu yang dilakukan kaum
muslimin memiliki kekurangan dan ketidak sempurnaan, maka hal itu
membutuhkan sesuatu yang menutupi dan menyempurnakannya.

3. Membiasakan puasa setelah Ramadhan menandakan diterimanya
puasa Ramadhan, karena apabila Allah Ta'ala menerima amal seorang
hamba, pasti Dia menolongnya dalam meningkatkan perbuatan baik
setelahnya. Sebagian orang bijak mengatakan: "Pahala'amal kebaikan
adalah kebaikan yang ada sesudahnya." Oleh karena itu barangsiapa
mengerjakan kebaikan kemudian melanjutkannya dengan kebaikan lain,
maka hal itu merupakan tanda atas terkabulnya amal pertama.

Demikian pula sebaliknya, jika seseorang melakukan suatu kebaikan
lalu diikuti dengan yang buruk maka hal itu merupakan tanda
tertolaknya amal yang pertama.

4. Puasa Ramadhan -sebagaimana disebutkan di muka- dapat
mendatangkan maghfirah atas dosa-dosa masa lain. Orang yang berpuasa
Ramadhan akan mendapatkan pahalanya pada hari Raya'ldul Fitri yang
merupakan hari pembagian hadiah, maka membiasakan puasa
setelah 'Idul Fitri merupakan bentuk rasa syukur atas nikmat ini.
Dan sungguh tak ada nikmat yang lebih agung dari pengampunan dosa-
dosa.

Oleh karena itu termasuk sebagian ungkapan rasa syukur seorang hamba
atas pertolongan dan ampunan yang telah dianugerahkan kepadanya
adalah dengan berpuasa setelah Ramadhan. Tetapi jika ia malah
menggantinya dengan perbuatan maksiat maka ia termasuk kelompok
orang yang membalas kenikmatan dengan kekufuran. Apabila ia berniat
pada saat melakukan puasa untuk kembali melakukan maksiat lagi, maka
puasanya tidak akan terkabul, ia bagaikan orang yang membangun
sebuah bangunan megah lantas menghancurkannya kembali.

Allah Ta'ala berfirman:
"Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan
benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai berai
kembali "(An-Nahl: 92)

5. Dan di antara manfaat puasa enam hari bulan Syawal adalah amal-
amal yang dikerjakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada
Tuhannya pada bulan Ramadhan tidak terputus dengan berlalunya bulan
mulia ini, selama ia masih hidup.

Orang yang setelah Ramadhan berpuasa bagaikan orang yang cepat-cepat
kembali dari pelariannya, yakni orang yang baru lari dari peperangan
fi sabilillah lantas kembali lagi. Sebab tidak sedikit manusia yang
berbahagia dengan berlalunya Ramadhan sebab mereka merasa berat,
jenuh dan lama berpuasa Ramadhan.

Barangsiapa merasa demikian maka sulit baginya untuk bersegera
kembali melaksanakan puasa, padahal orang yang bersegera kembali
melaksanakan puasa setelah 'Idul Fitri merupakan bukti kecintaannya
terhadap ibadah puasa, ia tidak merasa bosam dan berat apalagi benci.

Seorang Ulama salaf ditanya tentang kaum yang bersungguh-sungguh
dalam ibadahnya pada bulan Ramadhan tetapi jika Ramadhan berlalu
mereka tidak bersungguh-sungguh lagi, beliau berkomentar:

"Seburuk-buruk kaum adalah yang tidak mengenal Allah secara benar
kecuali di bulan Ramadhan saja, padahal orang shalih adalah yang
beribadah dengan sungguh-sunggguh di sepanjang tahun."

Oleh karena itu sebaiknya orang yang memiliki hutang puasa Ramadhan
memulai membayarnya di bulan Syawal, karena hal itu mempercepat
proses pembebasan dirinya dari tanggungan hutangnya. Kemudian
dilanjutkan dengan enam hari puasa Syawal, dengan demikian ia telah
melakukan puasa Ramadhan dan mengikutinya dengan enam hari di bulan
Syawal.

Ketahuilah, amal perbuatan seorang mukmin itu tidak ada batasnya
hingga maut menjemputnya. Allah Ta'ala berfirman :
"Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal) "
(Al-Hijr: 99)

Dan perlu diingat pula bahwa shalat-shalat dan puasa sunnah serta
sedekah yang dipergunakan seorang hamba untuk mendekatkan diri
kepada Allah Ta'ala pada bulan Ramadhan adalah disyari'atkan
sepanjang tahun, karena hal itu mengandung berbagai macam manfaat,
di antaranya; ia sebagai pelengkap dari kekurangan yang terdapat
pada fardhu, merupakan salah satu faktor yang mendatangkan mahabbah
(kecintaan) Allah kepada hamba-Nya, sebab terkabulnya doa, demikian
pula sebagai sebab dihapusnya dosa dan dilipatgandakannya pahala
kebaikan dan ditinggikannya kedudukan.

Hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan, shalawat dan salam
semoga tercurahkan selalu ke haribaan Nabi, segenap keluarga dan
sahabatnya.

Wednesday, October 18, 2006

Keagungan Lailatul Qadr

Oleh : KH Abdul Hasib Hasan , Lc
Pimpinan Ma'had Al-Hikmah, Bangka - Jakarta.

Edisi : 192, Oase Iman
Senin, 17 Ramadhan 1422 H / 3 Desember 2001

"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur'an) pada Lailatul Qadr."
(QS al-Qadr:1)


Ramadhan adalah bulan yang sangat dirindukan dan dinanti-nantikan orang-orang beriman karena kemuliaan dan keagungan yang terdapat di dalamnya. Salah satunya adalah Lailatul Qadr

Apakah Lailatul Qadar itu ?
Seberapa besarkah keagungan dan keutamaannya?
Bilakah malam itu terjadi?
Dan apa yang sebaiknya kita lakukan saat kita merasakan atau berada pada malam tersebut?

Semua ini pertanyaan-pertanyaan yang menarik untuk kita ungkapkan dalam rangka mengapai dan memperoleh Lailatul Qadr. Sekalipun pertanyaan-pertanyaan tersebut bukanlah sesuatu yang baru, tapi memiliki bobot tersendiri dan sangat relevan.

Secara harfiyah Lailah berarti malam.
Sedangkan Qadr berarti takaran, ukuran, sesuatu yang bernilai dan sesuatu yang terbatas.

Kemudian para ulama beragam dalam mengartikan dan menafsirkannya.

Ada yang menyebutnya malam kemuliaan, karena pada malam itu Allah SWT menurunkan kitab suci al-Qur'an yang merupakan sumber kemuliaan manusia.
Allah SWT berfirman,
"Sesungguhnya telah kami turunkan kepada kamu sebuh kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagi kamu. Maka apakah kamu tidak memahaminya?"
(QS al-Anbiyaa:10)


Sebagian yang lain mengartikan sebagai malam yang sangat bernilai. Kerena pada malam itu ketaatan manusia akan mendapatkan nilai yang tnggi dan pahala yang besar.
Bila dilihat dari kacamata bisnis keuntungan senilai 3.000.000% (1000 bulan X 30 hari X 10 kebaikan).

Karena itu Rasulullah bersabda,
"Sesungguhnya, bulan Ramadhan telah hadir ditengah-tengah kalian. Didalamnya terdapat satu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Siapa yang diharamkan pada malam tersebut, berarti ia telah diharamkan dari semua kebaikan. Dan tidak ada yang yang diharamkannya melainkan orang-orang yang benar-benar merugi,"
(HR Ibnu Majah dengan sanad hasan).

Sebagian yang lain mengatakan malam yang sesak dengan Malaikat, sebab kata Qadr dapat berarti sempit. Hal ini sebagaimana yang termaktub dalam firman Allah SWT,
" Dan siapa yang dipersempit rezekinyaa…" (QS. Al-Thalaaq : 7)

Banyak ayat dan hadits yang menyebutkan keutamaan dan keagungan Lailatul Qadr, baik secara tersurat maupun tersirat. Diantaranya :

~ Lailatul Qadr nilainya lebih baik dari seribu bulan, Artinya ibadah yang kita lakukan pada malam tersebu jauh lebih baik dari beribadah seribu bulan (QS al-Qadr :3)

~ Malam tersebut penuh dengan keberkahan (kebaikan yang melimpah). Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Kami menurunkan (al-Quran) pada malam yang penuh keberkahan (QS. Al-Dukhaan:3)

~ Malam tersebut penuh dengan ampunan. Rasulullah saw bersabda, "Barang siapa yang
menghidupkan Lailatul Qadr (dengan ibadah) semata-mata karena iman dan mengharap
pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosa yang telah lalu," (HR Bukhari)

~ Malam tersebut adalah malam dimana para malaikat makhluk Allah yang suci turun ke dunia untuk memberikan salam kepada hamba-hamba Allah yang taat beribadah kepada-Nya (QS al-Qadr:5)

Mengenai waktu terjadinya Lailatul Qadr, para ulama beragam pendapat.

Ibnu Hajar menyebutkan lebih dari 40 pendapat. Namun, bila kita membaca hadits-hadits Nabi SAW, dapat kita simpulkan sebagai berikut :

~ Lailatul Qadr terjadi setiap tahun di bulan suci Ramadhan, terutama pada malam-malam sepuluh hari terakhir ketika Rasulullah saw melakukan I'tikaf,
"Apabila memasuki sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, Rasulullah saja menghidupkan malam-malamnya dengan beribadah. Beliau membangunkan istrinya, bersungguh-sungguh dan serius bribadah," (HR Bukhari dan Muslim)

~ Lebih utamanya pada malam-malam ganjil, yaitu 21, 23, 25, 27 , dan 29. Rasulullah saw bersabda, "Carilah Lailatul Qadr pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan," (HR Bukhari dan Muslim)

~ Lebih spesifik lagi adalah pada tanggal 27 Ramadhan menurut pendapat mayoritas ulama dan tanggal 21 menurut Imama Syafi'i. Ibnu Abbas pernah meminta sahabat yang lebih tua, lemah dan tidak mampu berdiri berlama-lama untuk bertanya kepada Rasul, kapankah ia bisa mendapatkan Lailatul Qadar? Rauslullah saw menasehati agar ia mencarinya pada malam ke 27 (HR Thabrani dan Baihaqi).

~ Malam Jum'at yang jatuh pada tanggal ganjil, juga perlu diperhatikan, karena hari Jum'at adalah Sayyidul Ayyaam (penghulu hari-hari) dan Yaumul 'Ied (Hari raya) pekanan.


Yang paling baik kita lakukan pada Lailatul Qadr adalah beribadah dan ber-taqarrub kepada Allah.

Diantara ibadah yang dianjurkan adalah :

~ I'tikaf, yaitu berada di masjid. Karena, Rasulullah saw melakukan I'tikaf dan menjadikannya budaya yang tidak pernah beliau tinggalkan.

~ Qiyamul Lail (shalat Malam). Rasulullah saw bersabda,"Barang siapa yang menghidupkan malam Lailatul Qadr dengan qiyamul Lail karena iman dan mengharap pahala dari Alalh, maka akan diampuni dosa-dosanya yang lain," (HR Bukhari)

~ Berdoa dan berdzikir. Aisyah ra berkata, "Wahai Rasulullah, bagaimana menurutmu apabila aku mengetahui Lailatul Qadr? Apa yang sebaiknya aku ucapkan?" Beliau bersabda, 'Ucapkanlah, Allahumma innaka 'afuwwun tuhibbul 'afwa fa'fu'anni (Ya Allah, sesunggughnya Engkau adalah pemaaf dan menyukai maaf, maka maafkanlah daku)," (HR Turmudzi).

Lailatul Qadr dapat kita ketahui dari tanda-tandanya.

Ahli hadits seperti Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan Turmudzi meriwayatkan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda,
"Saat terjadi Lailatul Qadr, malam terasa jernih, terang, dan tenang. Cuaca Sejuk. Tidak terasa panas. Tidak terasa dingin. Dan pada pagi harinya matahari terbit dengan terang benderang tanpa tertutup satu awan."

Semoga Allah SWT berkenan memberikan kita kemuliaan malam Qadr tersebut.
Aamiin yaa Mujiibas Saaliliin.

Wednesday, October 04, 2006

I'TIKAF

Makna I'tikaf

Menurut bahasa i'tikaf memiliki arti menetapi sesuatu dan menahan diri agar senantiasa tetap berada padanya, baik hal itu berupa kebajikan ataupun keburukan.

Allah subhanahu wata'ala berfirman, artinya,
"Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang beri'tikaf (menyembah) berhala mereka."
(QS. al-A'raf :138)

Sedangkan menurut syara' i'tikaf berarti menetapnya seorang muslim didalam masjid untuk melaksanakan ketaatan dan ibadah kepada Allah Ta'ala.

Hukum I'tikaf

Para ulama sepakat bahwa iktikaf hukumnya sunnah, sebab Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam senantiasa melakukannya tiap tahun untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wata'ala dan memohon pahala-Nya. Terutama pada hari-hari di bulan Ramadhan dan lebih khusus ketika memasuki sepuluh hari terkahir pada bulan suci itu. Demikian tuntunan yang diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.

Yang Wajib Beriktikaf

Sebagaimana dimaklumi bahwa i'tikaf hukumnya adalah sunnah, kecuali jika seseorang bernadzar untuk melakukannya, maka wajib baginya untuk menunaikan nadzar tersebut. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu yang diriwayatkan imam al-Bukhari dan Muslim.

Disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah meninggalkan i'tikaf semenjak beliau tinggal di Madinah hingga akhir hayat.

Tempat I'tikaf

I'tikaf tempatnya di setiap masjid yang di dalamnya dilaksanakan shalat berjama'ah kaum laki-laki, firman Allah Ta'ala, artinya,
"Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam,(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid."
(QS. al- Baqarah:187)


Orang yang beri'tikaf pada hari Jum'at disunnahkan untuk beri'tikaf di masjid yang digunakan untuk shalat Jum'at. Tetapi jika ia beri'tikaf di masjid yang hanya untuk shalat jama'ah lima waktu saja, maka hendaknya ia keluar hanya sekedar untuk shalat Jum'at (jika telah tiba waktunya), kemudian kembali lagi ke tempat iktikafnya semula.

Waktu I'tikaf

I'tikaf disunnahkan kapan saja di sembarang waktu. Maka diperboleh kan bagi setiap muslim untuk memilih waktu kapan ia memulai iktikaf dan kapan mengakhirinya.
Akan tetapi yang paling utama adalah i'tikaf di bulan suci Ramadhan, khususnya sepuluh hari terakhir. Inilah waktu i'tikaf yang terbaik sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits shahih, artinya,
"Bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam selalu beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkannya. Kemudian para istri beliau beri'tikaf sepeninggal beliau."
(HR .al-Bukhari dan Muslim dari A'isyah radhiyallahu 'anha)


Sunnah-Sunnah bagi Orang yang Sedang I'tikaf

Disunnahkan bagi para mu'takif supaya memanfaatkan waktu yang ada dengan sebaik-baiknya untuk berdzikir, membaca al-Qur'an, mengerjakan shalat sunnah, terkecuali pada waktu-waktu terlarang, serta memperbanyak tafakur tentang keadaannya yang telah lalu, hari ini dan masa mendatang. Juga banyak-banyak merenungkan tentang hakikat hidup di dunia ini dan kehidupan akhirat kelak.

Hal-Hal yang harus Dihindari Mu'takif

Orang yang sedang i'tikaf dianjurkan untuk menghindari hal-hal yang tidak bermanfaat seperti banyak bercanda, mengobrol yang tidak berguna sehingga mengganggu konsentrasi i'tikafnya. Karena i'tikaf adalah bertujuan untuk mendapatkan keutamaan bukan malah menyibukkan diri dengan hal-hal yang tidak di- sunnahkan.

Ada sebagian orang yang beri'tikaf, namun dengan meninggalkan tugas dan kewajibannya. Hal ini tidak dapat dibenarkan karena sungguh tidak proporsional seseorang meninggalkan kewajiban untuk sesuatu yang sunnah. Oleh karena itu, orang yang i'tikaf hendaknya ia menghentikan i'tikafnya, jika memiliki tanggungan atau kewajiban yang harus dikerjakan.

Hal-Hal yang Membolehkan Mu'takif Keluar dari Masjid

Seorang mu'takif diperbolehkan meninggalkan tempat i'tikafnya jika memang ada hal-hal yang sangat mendesak. Di antaranya adalah buang hajat yaitu keluar ke WC untuk buang air, untuk mandi, keluar untuk makan dan minum jika tidak ada yang mengantarkan makanan kepadanya, dan pergi untuk berobat jika sakit. Demikian pula untuk keperluan syar'i seperti shalat Jum'at, jika tempat ia beriktikaf tidak digunakan untuk shalat Jum'at, menjadi saksi atas suatu perkara dan juga boleh membantu keluarganya yang sakit, jika memang mengharuskan untuk dibantu. Juga keperluan-keperluan semisalnya yang memang termasuk kategori dharuri (keharusan).

Larangan-Larangan dalam I'tikaf

Orang yang sedang beri'tikaf tidak diperbolehkan keluar dari masjid hanya untuk keperluan sepele dan tidak penting, artinya tidak bisa dikategorikan sebagai keperluan syar'i. Jika ia memaksa keluar untuk hal-hal yang tidak perlu tersebut, maka i'tikafnya batal. Selain itu, ia juga dilarang melakukan segala perbuatan haram seperti ghibah (menggunjing), tajassus (mencari-cari kesalahan orang), membaca dan memandang hal-hal yang haram. Pendeknya semua perkara haram di luar i'tikaf, maka pada saat i'tikaf lebih ditekankan lagi keharamannya. Mu'takif juga dilarang untuk menggauli istrinya, karena hal itu membatalkan i'tikafnya.

Menentukan Syarat dalam I'tikaf

Seorang mu'takif diperbolehkan menentukan syarat sebelum melakukan i'tikaf untuk melakukan sesuatu yang mubah. Misalnya saja ia menetapkan syarat agar makan minum harus di rumahnya, hal ini tidak apa-apa. Lain halnya jika ia pulang dengan tujuan menggauli istrinya, keluar masjid agar bisa santai atau mengurusi pekerjaannya, maka i'tikafnya menjadi batal. Karena semua itu bertentangan dengan makna dan pengertian i'tikaf itu sendiri.

Hikmah dan Manfaat i'tikaf

I'tikaf memiliki hikmah yang sangat besar yakni menghidupkan sunnah Rasul shallallahu 'alaihi wasallam dan menghidupkan hati dengan selalu melaksanakan ketaatan dan ibadah kepada Allah Ta'ala.

Sedangkan manfaat i'tikaf di antaranya:

a.. Untuk merenungi masa lalu dan memikirkan hal-hal yang akan dilakukan di hari esok.
b.. Mendatangkan ketenangan, ketentraman dan cahaya yang menerangi hati yang penuh dosa.
c.. Mendatangkan berbagai macam kebaikan dari Allah subhanahu wata'ala. Amalan-amalan kita akan diangkat dengan rahmat dan kasih sayang-Nya
d.. Orang yang beri'tikaf pada sepuluh hari terkahir akhir bulan Ramadhan akan terbebas dari dosa-dosa karena pada hari-hari itu salah satunya bertepatan dengan lailatul qadar.


Mudah-mudahan Allah subhanahu wata'ala memberikan taufik dan inayah-Nya kepada kita agar dapat menjalankan i'tikaf sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, terutama di bulan Ramadhan yang mulia ini.

Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, segenap keluarga dan shahabatnya, Amiin.
(Disampaikan oleh Syaikh Abdullah bin Abdur Rahman al-Jibrin)

Netter Al-Sofwa yang dimuliakan Allah Ta'ala, Menyampaikan Kebenaran adalah kewajiban setiap Muslim. Kesempatan kita saat ini untuk berdakwah adalah dengan menyampaikan buletin ini kepada saudara-saudara kita yang belum mengetahuinya. Semoga Allah Ta'ala Membalas 'Amal Ibadah Kita.

Wassalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakatuh

sumber: Al Sofwah

Tuesday, October 03, 2006

Sholat Shubuh itu Menyehatkan

berikut adalah cuplikan artikel tentang “Hubungan Antara Sholat Shubuh & Kesehatan”
semoga bermanfaat..

**

Shalat subuh bermanfaat karena dapat mengurangi kecenderungan terjadinya gangguan kardiovaskular.

Pada studi MILIS, studi GISSI 2 dan studi-studi lain di luar negeri, yang dipercaya sebagai suatu penelitian yang shahih maka dikatakan puncak terjadinya serangan jantung sebagian besar dimulai pada jam 6 pagi sampai jam 12 siang.

Mengapa demikian?

Karena pada saat itu sudah terjadi perubahan pada sistem tubuh dimana terjadi kenaikan tegangan saraf simpatis (istilah Cina:Yang) dan penurunan tegangan saraf parasimpatis (Yin).

Tegangan simpatis yang meningkat akan menyebabkan kita siap tempur, tekanan darah akan meningkat, denyutan jantung lebih kuat dan sebagainya.

Pada tegangan saraf simpatis yang meningkat maka terjadi penurunan tekanan darah, denyut jantung kurang kuat dan ritmenya melambat. Terjadi peningkatan aliran darah ke perut untuk menggiling makanan dan berkurangnya aliran darah ke otak sehingga kita merasa mengantuk, pokoknya yang cenderung kepada keadaan istirahat.

Pada pergantian waktu pagi buta (mulai pukul 3 dinihari) sampai siang itulah secara diam-diam tekanan darah berangsur naik, terjadi peningkatan adrenalin yang berefek meningkatkan tekanan darah dan penyempitan pembuluh darah (efek vasokontriksi) dan meningkatkan sifat agregasi trombosit (sifat saling menempel satu sama lain pada sel trombosit agar darah membeku) walaupun kita tertidur.

Aneh bukan?

Hal seperti ini disebut sebagai ritme Circardian/Ritme sehari-hari, yang secara kodrati diberikan Tuhan kepada manusia.

Namun apa kaitannya keterangan di atas dengan kalimat "ash shalatu khairun minan naum"? Shalat subuh lebih baik dari tidur?

Secara tidak langsung hal ini dapat dirunut melalui penelitian Furgot dan Zawadsky yang pada tahun 1980 dalam penelitiannya mengeluarkan sekelompok sel dinding arteri sebelah dalam pada pembuluh darah yang sedang diseledikinya (dikerok).

Pembuluh darah yang normal yang tidak dibuang sel-sel yang melapisi dinding bagian dalamnya akan melebar bila ditetesi suatu zat kimia yaitu: Asetilkolin. Pada penelitian ini terjadi keanehan, dengan dikeluarkannya sel-sel dari dinding sebelah dalam pembuluh darah itu, maka pembuluh tadi tidak melebar kalau ditetesi asetilkolin.

Penemuan ini tentu saja menimbulkan kegemparan dalam dunia kedokteran. "Jadi itu toh yang menentukan melebar atau menyempitnya pembuluh darah, sesuatu penemuan baru yang sudah sekian lama, sekian puluh tahun diteliti tapi tidak ketemu".

Penelitian itu segera diikuti penelitian yang lain diseluruh dunia untuk mengetahui zat apa yang ada didalam sel bagian dalam pembuluh darah yang mampu mengembangkan/ melebarkan pembuluh itu. Dari sekian ribu penelitian maka zat tadi ditemukan oleh Ignarro serta Murad dan disebut NO/Nitrik Oksida.

Ketiga penelitian itu Furchgott dan Ignarro serta Murad mendapat hadiah NOBEL tahun 1998.

Zat NO selalu diproduksi, dalam keadaan istirahat tidur pun selalu diproduksi, namun produksi dapat ditingkatkan oleh obat golongan Nifedipin dan nitrat dan lain-lain tetapi juga dapat ditingkatkan dengan bergerak, dengan olahraga.

Efek Nitrik oksida yang lain adalah mencegah kecenderungan membekunya darah dengan cara mengurangi sifat agregasi/sifat menempel satu sama lain dari trombosit pada darah kita.

Jadi kalau kita kita bangun tidur pada pagi buta dan bergerak, tatkala tamu yang tidak kita inginkan selalu saja sowan pada setiap pagi gelap, maka hal itu akan memberikan pengaruh baik pada pencegahan gangguan kardiovaskular. Naiknya kadar NO dalam darah karena exercise yaitu wudhu dan shalat sunnah dan wajib, apalagi bila disertai berjalan ke mesjid merupakan proteksi bagi pencegahan kejadian kardiovaskular.

Selain itu patut dicatat bahwa pada posisi rukuk dan sujud terjadi proses mengejan, posisi ini meningkatkan tonus parasimpatis (yang melawan efek tonus simpatis).

Allahu Akbar.

sedikit komentar diana..
Aku ga begitu paham tulisan di atas, sudah dibaca beberapa kali, masih belum "ngeh" juga. Hanya saja, yang dapat aku simpulkan adalah, dengan bangun pagi, sholat shubuh, maka itu akan sangat baik untuk kesehatan tubuh kita, salah satunya adalah mencegah terjadinya serangan jantung.
Wallahu’alam.


Hasanah Diana

Create Your Badge